Burut Si Berot
Burut Si Berot adalah cerpen terbaru saya yang berhasil dimuat di harian Pontianak Post, tanggal 10 Juli lalu. Dengan setting kota Pontianak yang kental dengan nuansa Melayunya, kisah ini mencoba memotret sebuah fragmen kehidupan masyarakat kota Pontianak yang masih memiliki pandangan-pandangan yang salah tentang banyak hal. Cerita ini juga berusaha mengangkat rasa kekeluargaan antar sesama meskipun dalam pergaulan sehari-harinya sering berbicara dengan suara keras dan berteriak.
Berhubung logat dan bahasa yang digunakan adalah khas Melayu Pontianak (sama dengan logatnya Siti Nurhaliza), maka berikut ini saya petikkan beberapa arti kata-katanya :
ngape : kenapa
cawat : celana dalam
tadak : tidak
balek agik : balik lagi
ngganggok : mengganggu
Berikut ini juga saya petikkan kisahnya. Jangan lupa beri komentar Anda ya !
BURUT SI BEROT
M. Asroruddin
Kapal Bandong yang membawa kayu-kayu dari hulu baru melintasi sungai Kapuas yang jernih kecoklatan. Berot yang sedang berdiri di atas jamban terapung di sisi sungai di daerah Kampung Bansir, mengalihkan pandangannya dari kapal tersebut yang semakin mengecil, ke arah seberang sungai selebar seratus meter yang terdengar hiruk pikuk. Buruh pabrik di daerah Siantan yang mulai keluar, kendaraan-kendaraan bermotor yang mengaung-ngaungkan gasnya di tengah kemacetan kota, hingga akhirnya matahari yang melintasi kota khatulistiwa ingin bersemayam, belum juga membuat Berot menceburkan tubuhnya ke sungai. Dia menunggu langit kota Pontianak gelap.
“Rot, ngape kau tadak mandi ? Dah gelap bah, maghrib pun udah masok,” tanya Itam, salah seorang temannya, dengan logat Melayunya yang kental.
“Iye, nunggu gelap. Abis tuh baru aku mandi sembahyang.”
Itam tampak bingung. Tak biasanya Berot mandi malam. Teman sepermainannya semasa anak-anak dan remaja itu beberapa hari ini didapatinya sering mandi menjelang maghrib. Biasanya, mereka mandi jam lima sore atau selepas Ashar. Kalau mandi pagi pun setelah terang tanah. Seperti kebiasaan, mereka mandi hanya menggunakan cawat, tak perduli bila ada perempuan di jamban sebelahnya yang sering juga hanya memakai kemban.
Ketika langit mulai gelap dan lampu mulai menghiasi pesisir sungai salah satunya dari Masjid Jami peninggalan Kesultanan Pontianak yang berdiri megah, Berot menyunggingkan senyumannya yang khas. Sudut bibir kanannya tidak sejajar dengan sudut bibir kirinya alias miring. Bukan karena stroke atau riwayat salah jahit akibat kecelakaan, tetapi memang sudah sejak lahir. Itulah mengapa orang-orang memanggilnya Si Berot sejak kecil. Berot alias miring ketika tersenyum. Ketika memasuki usia dimana dia sudah mulai bisa berfikir, dia agak risih mendengarnya. Tapi apa boleh buat, mulai dari keluarga, teman dan orang-orang terdekatnya memanggilnya begitu.
Berot tidak juga menceburkan tubuhnya ke sungai. Tak seperti biasanya, dia hanya mereguk air sungai untuk membasahi tubuhnya dengan gayung plastik. Masih hanya mengenakan cawat. Kalau sudah kebiasaan, memang susah dihilangkan meskipun dia sudah punya istri. Tapi, main mata dengan cewek yang sedang jalan-jalan di tepi sungai atau yang mandi di dekatnya mulai tak tampak lagi karena memang susah memamerkan tubuhnya yang kekar saat gelap.
“Ngape kau mandi malam, Rot ?” tanya Pak Ngah yang baru balik dari surau saat Berot kembali ke rumahnya dengan hanya memakai handuk.
“Nanti bise rematik kayak aku, ni. Lagi pula Maghrib kau nanti habes. Cepat kau mandi sembahyang !” tegas Pak Ngah, tokoh yang dituakan di kampungnya Berot.
Berot mengiyakan sambil menyalami Pak Ngah dengan tangan kekarnya akibat sering digunakan saat menjadi buruh Pelabuhan Pontianak sejak lima tahun yang lalu. Lalu dia meninggalkan Pak Ngah sambil mengucapkan salam.
***
Berot masih berleha-leha di rumahnya karena masih menunggu panggilan pekerjaan sejak dia berhenti dari Pelabuhan dua bulan silam. Sementara istri yang disuntingnya dua tahun lalu saat memasuki usianya yang seperempat abad, berjualan jajanan pasar di Pasar Flamboyan selepas Subuh. Untuk mengisi kekosongan, biasanya Berot menjadi makelar tanah. Pekerjaan jenis itu pun hilang timbul. Untung saja dia belum punya anak, jadi beban keluarganya tidak terlalu berat.
“Berot, ape can kite hari ini?” tanya Itam saat bertandang ke rumah teman baiknya itu.
“Tadak ade ape-ape, Tam. Kepala aku pun pening mikirkan kerje nih !” keluhnya.
“Ngape kau tadak balek agik jadi buroh di pelabohan atau jadi tukang ojek?”
“Tak sanggop, Tam ! Jadi tukang ojek pun tadak ade motornye”
Itam bingung. Tidak sanggup jadi buruh pelabuhan padahal tubuh masih kuat dan umur belum berkepala tiga. Dia berasumsi hanya jadi buruh yang bisa dilakukan oleh Berot. Tak punya keahlian lain. Kebingungan Itam mencair lalu membuka topik pembicaraan lain.
“Kulihat kau udah seminggu tadak turun ke sungai. Kau memang tadak mandi sore ke ape ?” tanya Itam usil.
“Tadak…aku mandi malam pas maghrib”
“Eeh, ngape pula mandi malam-malam ?” tanya Itam penasaran
“Tadak…suke-suke aku lah. Panas kalo mandi lepas Ashar”
Itam menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski alasannya masuk akal, tapi Itam tetap sangsi itu alasan yang sebenarnya. Tak pernah temannya itu berkata serupa.
“Jangan-jangan karena kau dah punye istri, jadi kau tobat main mate dengan anak dare di sungai?”
Berot tersenyum. Dalam hatinya sinis. Meski sudah punya istri, kebiasaannya semasa bujang tetap belum bisa hilang. Siapa yang tidak tergoda melihat tubuh si Berot yang atletis. Plus tampan dan putih dengan wajah khas Melayu campur Sunda. Mereka kemudian keluar rumah mencari warung kopi. Di tempat itu mereka bertemu Kasau, Adnan, dan Kesot, teman satu kampung. Pertanyaan yang sama dilontarkan kepada Berot. Jawabannya pun sama.
“Jangan-jangan kau ade burut kali, makenye kau tadak berani agik pake cawat siang-siang. Keliatan besarnye,” celetuk Adnan diiringi tawa renyah para kaum lelaki.
Yang diejek senyam-senyum. Asap rokok terus mengepul di warung itu, ditambah uap kopi panas dan rumpian mereka tentang sepakbola yang hangat, menambah panas kota khatulistiwa yang memang panas.
***
Ditemani istri tercinta, Berot memberanikan diri memeriksakan ke dokter setelah dipaksa istrinya. Dia memakai celana panjang longgar, sama dengan kebanyakan pasien yang duduk di ruang tunggu. Begitu nama Ihsan Amali bin Haji Ahmad dipanggil perawat, bergegas Berot memasuki ruang dokter ahli bedah ditemani istrinya. Dia berdebar-debar saat diperiksa.
“Pak Ihsan, saya rasa Bapak tahu bahwa yang Bapak derita ini namanya hernia. Atau burut kalau bahasa Melayunya,” ujar dokter Budhi sopan.
“Ye, Pak saye tahu,” jawabnya dengan logat Melayu yang kental.
“Dan, kalau sudah sebesar tinju orang dewasa seperti ini, saya pikir penyakitnya sudah lama. Bapak bilang dua tahun yang lalu ya?” Berot mengangguk.
“Kenapa baru dibawa sekarang, Pak?”
“Saye takut, Pak dokter. Takut dioperasi. Dan takut dibilang orang kampong. Kate mereka kalo kite kena burut, itu aib bagi keluarge.”
Sang dokter geleng-geleng kepala.
“Kenapa mesti takut, Pak ? Itu kan cuma kata orang-orang. Bukan aib atau sesuatu yang harus ditakuti. Dan kalau sudah besar seperti ini, semakin lama semakin parah. Saran saya harus segera dioperasi secepatnya. Nanti malah tambah besar, atau bahkan sakit sekali karena ususnya terjepit.”
Berot dan istrinya mengangguk-angguk. Tapi sebenarnya mereka resah. Darimana uang untuk operasi yang biayanya selangit itu. Uang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Apalagi tak berapa lama akan lahir anak pertama mereka. Mereka bingung.
“Kate orang-orang, kalau dioperasi burut bakal berpengaruh ke keturunan, Pak dokter. Teman saye pun abes operasi tadak bise punye anak lagi, Pak. Makenye saye takut operasi selain tadak punye duit, Pak Dokter.”
Sang dokter kembali menggeleng-gelengkan kepala.
“Jangan percaya kabar-kabar tidak jelas, Pak Ihsan. Tanyalah kepada ahlinya,” tegasnya.
“Gimana ? Bapak dan Ibu setuju bila hernianya kita operasi?”
Berot terdiam sejenak sambil memandangi wajah istrinya.
“Boleh ditunda Pak Dokter keputusannye ? Kame rembogkan dulu di keluarge,” tanya sang istri.
“Boleh-boleh saja. Tapi ingat, Bu. Jangan lama-lama. Kasihan nanti Bapak bisa kesakitan kalau sudah parah.”
Mereka lalu meninggalkan ruang dokter dan RSUD Soedarso dengan langkah gontai. Bingung mencari biaya operasi yang jutaan. ASKES pun tidak punya. Kalau minta bantuan Pak Ngah yang kaya raya, bakal ketahuan orang kampong. Bila mengurus surat keterangan tidak mampu ke RT, mereka tidak bisa menjamin berita tentang penyakitnya bakal tersimpan rapi. Berot resah. Masih malu dengan penyakitnya. Sang istri belum menyumbangkan pikirannya.
***
Istri Berot pusing tujuh keliling. Sang suami kesakitan di bawah perutnya dekat kemaluan sampai berguling-guling. Tengah malam yang sepi tak ada yang bisa menolong Berot hanya bisa mengerang sambil mengucap lafaz Allahu Akbar. Mau membangunkan tetangga tidak enak dan bakal mengganggu tidur mereka. Sang istri meminta persetujuan Berot untuk meminta tolong ke Pak Ngah.
“Jangan, Nah ! Tadak enak bangunkan orang tengah-tengah malam. Pak Ngah kan udah tue !” larang Berot sambil keluar keringat dingin.
“Tadak usah gimane, Bang ! Abang kan kesakitan macam nih. Saye juga pening. Saya dah bilang, kite nguros ke RT minta surat tadak mampu, abang tadak mau. Jadi maonye Abang ape?”
Nada bicara Munah mulai meninggi. Tak peduli bahwa itu suaminya yang harus dihormati. Berot juga bingung dan pusing.
“Saye mau ke rumah Pak Ngah sekarang. Minta tolong die !” tegas Munah.
“Jangan, Nah !” tolak Berot.
Sang istri tetap melaju menuju pintu depan rumahnya menuju rumah Pak Ngah yang berjarak dua ratus meter dari rumahnya.
“Nah ! Munah !” panggil Berot sambil memandang istrinya yang memunggunginya. Dia yang terbaring di atas dipan tak mampu menahan sang istri. Berot pasrah sambil memegangi bawah perutnya. Sang istri berlalu.
***
Munah mengetok-ngetok pintu rumah Pak Ngah yang gelap sambil memanggil-manggil pelan. Lampu rumahnya kemudian terang benderang. Pak Ngah keluar pelan-pelan menuju teras rumahnya.
“Ade ape, Munah ?”
“Maap, Pak Ngah ngganggok tidok Pak Ngah. Bang Berot perutnye kesakitan. Mukenye pucat. Peluhnye banyak. Saye takut terjadi ape-ape!”
Pak Ngah bergegas mengambil pecinya lalu menuju rumah Berot. Jalannya yang lambat berusaha dimaksimalkan.
“Ngape kire-kire si Berot tuh sakit perut” tanya Pak Ngah
“Saye rase karena burutnye terjepit, Pak Ngah !”
Pak Ngah kaget. Dia selama ini tidak pernah tahu menahu tentang Berot yang menderita hernia. Kalau dia tahu tentu saja beliau akan segera menyuruh Berot segera operasi. Dengan biaya dari beliau tentunya. Pengalaman pahit beliau tentang hal yang sama sepuluh tahun yang lalu tak ingin terulang. Dia tahu sakitnya bukan main.
“Kalau gitu, cepat kau balek agik ke rumah. Tolong bangunkan Si Agus, cucu Pak Ngah. Biar die keluarkan mobil mbawa Berot ke Soedarso. Bilang jak dari Pak Ngah. Cepat, Munah !”
Yang disuruh mengangguk dan bergerak cepat. Demi keselamatan sang suami.
***
Dengan mobil Kijang Pak Ngah yang berwarna hijau, Berot, Pak Ngah, dan Munah berangkat ke IGD RS Soedarso tengah malam dengan Agus sebagai sopirnya.
“Rot, ngape lah kau tadak pernah bilang tentang burut kau tu?” tanya Pak Ngah kesal.
“Saye malu, Pak Ngah dibilang aib. Lagipula kame tadak punya duit untuk operasi,” jawab Berot sambil merintih kesakitan.
“Ah, kau tuh ! Peduli benar kau same aib tuh. Liatlah kau sekarang. Gare-gare sikap kau tuh, sekarang kau saket. Rasekan lah sorang!”
Berot tidak berani membantah apalagi dongkol. Pak Ngah yang sudah tua mengorbankan semuanya untuknya. Dia berhutang budi.
“Makaseh lah, Pak Ngah, dah bantu saye. Saya jadi tadak enak same keluarge Pak Ngah. Merepotkan amat !” ucap Berot sambil mencium tangan Pak Ngah.
Pak Ngah tak berkomentar dan melihatnya sinis . Dongkol melihat kelakuan anak teman seperjuangannya dahulu, Haji Ahmad almarhum.
***
Munah menunggui suaminya dengan resah.
“Gimane nih, kalau Abang dioperasi, Pak Ngah ? Saya takut terjadi ape-ape. Pasti biayenye mahal.”
“Tadak usah kau khawatir, Munah. Biar Pak Ngah yang tanggung. Kalaupun harus dioperasi, kau percayakan jak same dokter di sini.”
Sang dokter kemudian berbicara kepada Munah, Pak Ngah, dan Berot. Dia menyatakan Berot harus segera dioperasi karena ususnya terjepit. Bila tidak segera dioperasi, ususnya akan mati dan menambah sakitnya si Berot, bahkan Berot pun bisa mati kesakitan. Semua resah dan berkerut kening mereka.
Pak Ngah mengiyakan. Persiapan operasi segera dilakukan. Munah segera mencium tangan Berot sambil sesegukan. Berot pun mencium tangan Pak Ngah minta didoakan selamat.
***
Setelah dioperasi dan dirawat di bangsal, Berot tampak berseri. Tak ada lagi sakit seperti malam itu. Hanya perih menahan luka bekas operasi. Pak Ngah datang menjenguk didampingi banyak orang. Adnan, Itam, Kasau, dan Kesot tampak bersamanya. Mereka masing-masing menanyakan kabar Berot.
“Ape aku bilang, kau benar kan kena burut ! Makenye kau tadak berani mandi pake cawat siang-siang,” canda Adnan.
“Lagi pula, ngape lah kau malu bilang kau kena burut. Kalo gitu kan kite bise bantu kau ketemu dokter,” sambung Itam.
Yang diwejangi sumringah.
“Maafkan, aku lah budak-budak. Aku memang tak pantas bebuat macam itu.”
Pak Ngah memotong.
“Tapi, ade baeknya pula kau mandi malam-malam, Rot!”
Berot bertanya-tanya.
“Ngape pula, Pak Ngah ?”
“Tak ade lagi anak dare yang kau bise maen mate dengan mereke. Kau kan dah beristri. Sebentar lagi anakmu laher. Cukup lah istri kau yang melihat tubuh kau.”
Semua tertawa dan Munah senyam-senyum.
“Ingat ye, anak-anakku !”
“Janganlah lagi kalian tuh mande pake cawat di sungai. Malu melihatnye. Macam orang-orang di Afrika. Lagipula, biarpun laki-laki, tetap kalian punye aurat. Dari pusat sampe bawah lutut. Lebih baek agik mandi di rumah. Tadak ade yang bise ngintep.”
“Pak Ngah pun kesal. Apelagi anak dare. Dah tahu tubohnye molek, masih gak pake kemban kalo mandi di sungai. Senanglah anak-anak bujang tuh meliatnye !”
Kaum lelaki yang ada di situ merasa tersindir dan saling menyikut-nyikut pelan.
“Kalau Pak Ngah tadak cinte same Mak Ngah kau, mungkin mereka dah jadi bini mude Pak Ngah!”
Semua kembali tertawa gelak. Cukup menghangatkan ruang bangsal yang dingin. Tetapi Berot tak berani ketawa banyak. Perutnya masih sakit.
***
1 Comments:
ceritanya mengalir, gaya bahasa dan aksentuasinya kuat sekali
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home