Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)
Eternal Movement: <strong>MELONGOK BUDAYA BACA DAN TULIS MASYARAKAT JEPANG</strong>

Saturday, March 19, 2005

MELONGOK BUDAYA BACA DAN TULIS MASYARAKAT JEPANG

Sampai saat ini, Jepang adalah satu-satunya negara di Asia yang
mempunyai kedudukan sejajar dalam iptek dan perekonomian dengan
raksasa dunia seperti Amerika. Tak heran, jika perdana mentri
Malaysia Mahatir Muhammad, menjadikan Jepang sebagai kiblat
pengembangan iptek ketimbang barat. Cerita mengenai kehebatan Jepang
dapat bangkit dengan cepat dari puing-puing kekalahan perang dunia
kedua, menginspirasi banyak negara di Asia seperti Cina dan Korea
Selatan untuk dapat menjadi seperti Jepang. Sifat dasar orang Jepang
memang tekun dan pekerja keras. Selain itu rata-rata dari mereka
mempunyai keinginan untuk selalu belajar dan selalu memperbaikin
hasil kerja mereka. Mungkin sifat-sifat dasar ini menjadi salah satu
pendukung kehebatan masyarakat Jepang dalam membangun negaranya.
Keinginan untuk selalu belajar ini tercermin pada tingginya budaya
baca dan tulis masyarakat Jepang.

Banyaknya fasilitas membaca, surga buat penggemar buku

Menurut data dari bunkanews (situs khusus tentang media massa
berbahasa Jepang), jumlah toko buku di Jepang adalah sama dengan
jumlah toko buku di Amerika Serikat. Amerika Serikat adalah dua puluh
enam kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak daripada
Jepang. Karena itu, data ini menunjukkan bahwa toko buku sangat
banyak di Jepang, mudah dijangkau, dan berada sangat dekat dengan
masyarakat Jepang. Sebuah kelebihan yang membuat bahagia para
konsumen buku dan penerbit tentunya. Juga menunjukkan tingginya
apresiasi masyarakat terhadap budaya membaca.

Toko buku yang ada tak melulu toko buku baru. Masih menurut
bunkanews, toko buku bekas atau toko buku tua menempati presentase
sepertiga jumlah toko buku. Artinya, jumlah toko buku bekas adalah
separuh jumlah toko buku baru. Keberadaan toko buku bekas ini sangat
menolong konsumen buku, karena mereka bisa mendapatkan buku yang
mereka inginkan dengan harga yang jauh lebih murah dan terjangkau.
Bahkan terkadang, kita bisa mendapatkan buku-buku tua yang sangat
bernilai namun sudah tak lagi diterbitkan. Toko-toko buku ini berani
untuk buka sampai larut malam, lebih malam dari departemen store
maupun supermarket. Mengapa demikian? Karena kaki para konsumen buku
terus mengalir sampai malam. Banyak di antara mereka yang datang
hanya untuk sekedar "tachi yomi" (artinya membaca sambil berdiri di
toko buku tanpa membeli) melepas kebosanan di malam hari. Tachiyomi
sekilas tampaknya hanya merusak pemandangan toko. Namun ternyata
oplag penjualan berbanding lurus dengan jumlah orang yang tachiyomi.
Artinya, ada kencenderungan sehabis tachiyomi orang tergerak untuk
membeli bacaan lainnya. Selain toko buku, perpustakan pun sangat
mudah kita temui di sekitar kita. Di daerah pedesaan, biasanya,
perpustakaan ini dikelola oleh pemerintah daerah setingkat kecamatan
di Indonesia. Keberadaannya mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan.
Sebab itu, meskipun di pedesaan buku bukanlah barang mahal yang sulit
di dapat.

Rata-rata orang Jepang gemar membaca, atau paling tidak, gemar
mencari informasi -yang tampak remeh sekalipun- dari orang lain.
Bahkan banyak para artis yang mempunyai hobi membaca. Kecenderungan
ini dipakai oleh para penerbit sebagai ajang promosi buku-buku mereka
di televisi.Di salah satu televisi swasta ada acara yang disebut
acara "toko buku Sekiguchi". Dalam acara ini para artis atau pelawak
mempresentasikan referensi suatu buku, sedangkan artis lain yang
hadir diminta untuk membeli berdasarkan kesan mereka terhadap
presentasi tersebut dari kocek mereka sendiri. Acara ini sangat
membantu bagi penggemar buku yang sibuk dan tak sempat berlama-lama
di toko buku. Penonton bisa melihat referensi yang divisualisasikan
dalam layar TV dan memesan lewat internet atau telpon jika tertarik
untuk membeli. Mirip sebuah "televisi shopping", namun yang
dipromosikan adalah buku.

Ketika kita masuk ke sebuah toko buku, biasanya ada beberapa hal khas
yang kita jumpai. Pertama, biasanya buku-buku bacaan di Jepang,
seperti novel, kumpulan essai, ataupun ilmiah populer didesain dalam
ukuran kecil, ringan, dan mudah dibawa kemana-mana. Sehingga kita
tidak enggan membawa buku tersebut baik ketika dalam perjalanan ke
kantor ataupun berbelanja. Orang yang membaca buku (tentu juga komik
ataupun majalah) akan sangat mudah kita temui di bis-bis kota ataupun
di kereta-kereta listrik. Kedua, kita akan susah mendapatkan buku-
buku berbahasa Inggris di toko-toko buku Jepang pada umumnya. Ini
karena, para penerbit Jepang sangat memperhatikan penerjemahan buku-
buku hasil karya penulis dari negara-negara lain. Bahkan banyak kasus
buku best seller yang diterbitkan di negara lain diterbitkan pula
terjemahannya di Jepang dalam waktu yang hampir berbarengan, seperti
buku Harry Potter yang ngetop di Amerika itu. Ini tentu saja karunia
bagi masyarakat Jepang khususnya para penggemar buku. Mereka bisa
menikmati hasil karya penulis-penulis beken negara lain dalam bahasa
mereka sendiri. Suatu karunia yang kita pikir hanya dipunyai oleh
negara-negara berbahasa Inggris, seperti Amerika atau sebagian negara
Eropa. Hanya toko-toko besar tertentu (dan biasanya di daerah
perkotaan) yang menyediakan buku-buku impor berbahasa Inggris dan
bukan terjemahannya.

Mengarang Sejak Kanak-Kanak

Budaya baca masyarakat Jepang yang tinggi ini tentu saja merupakan
efek timbal balik dari tingginya budaya tulis mereka. Ada konsumen
karena ada produsen, ada produsen karena ada konsumen. Budaya tulis
Jepang sudah ditekankan sejak mereka sekolah dasar. Anak-anak SD
biasaya selalu mempunyai tugas "sakubun" (artinya mengarang) dalam
waktu-waktu tertentu. Misalnya, ketika mereka libur musim panas,
musim dingin, atau libur kenaikan kelas, selalu ada tugas sakubun
tentang apa yang mereka kerjakan, rasakan, dan alami selama liburan.
Atau, ketika hari-hari tertentu, hari ayah atau hari ibu, murid-murid
SD ditugaskan untuk membuat sakubun tentang ayah dan ibu mereka.
Kesan mereka terhadap ayah dan ibu mereka masing-masing ditulis dalam
bentuk sakubun, lalu hasil karangan tersebut mereka presentasikan di
depan kelas. Ketika mereka akan lulus SD, mereka ditugaskan untuk
mengarang tentang impian (cita-cita) mereka ketika mereka dewasa
kelak. Tentu saja tulisan mereka ini didokumetasikan dalam bentuk
buku dan disimpan dengan baik oleh pihak sekolah. Sehingga mereka
bisa bernostalgia dengan impian masa kanak-kanak mereka, ketika
mereka bereuni setelah dewasa dan membaca sakubun mereka ketika
sekolah dasar.

Maka tak heran, jika rata-rata anak Jepang pandai mengekspresikan apa
yang mereka pikirkan dan rasakan lewat rangkaian kata-kata. Ditambah
lagi, karena bahasa Jepang adalah bahasa yang dibangun bukan
berdasarkan huruf melainkan karakter gambar (yaitu kanji). Ini
menjadikannya sangat kaya dengan ungkapan dan nuansa dan sangat
ekspresif untuk bahasa sastra tulis. Sebagai contoh, kata "berpikir".
Biasanya, orang Jepang menggunakan karakter atau kanji yang berbeda
untuk berpikir yang menggunakan akal seperti dalam kalimat: "Berpikir
tentang kejadian alam semesta", dengan berpikir yang menggunakan
perasaan seperti dalam kalimat "Berpikir tentang mu membuat saya
terkenang-kenang masa lalu". Masih banyak lagi contoh lainnya.

Siapa Saja bisa Jadi Penulis

Tingginya budaya tulis masyarakat Jepang juga dikarenakan mereka
adalah "learning society", yaitu masyarakat yang senang belajar dan
ingin well informed. Rata-rata dari orang Jepang senang untuk mencoba
mensistemasikan segala informasi yang mereka dapatkan dan
mendokumentasikannya menjadi pengetahuan praktis yang bermanfaat buat
diri sendiri maupun orang lain. Siapapun, apapun profesinya dapat
menjadi penulis amatiran dan menerbitkan buku yang dapat menjadi
informasi untuk orang lain. Dari ibu rumah tangga biasa sampai
kalangan artis sangat mudah membuat buku ataupun tulisan. Tidak
berlebihan jika banyak dari orang Jepang yang punya keinginan untuk
menulis buku tentang diri mereka sendiri (otobiografi) sebelum mereka
meninggal, sebagai "jejak" atau "tanda" mereka pernah hidup di dunia
ini.

Ada seorang ibu rumah tangga yang mengalami pindah rumah beberapa
kali, dan dari pengalamannya tersebut dia menulis sebuah buku tentang
pindah rumah yang efisien sekaligus menyenangkan. Juga dari
pengalaman, ada ibu rumah tangga yang menulis satu buku tentang kiat-
kiat untuk memutuskan membuang atau menyimpan suatu barang. Hal-hal
yang mereka tulis memang tampak sepele, tapi hal-hal tersebut
terkadang menjadi penting dan bermanfaat pada saat-saat tertentu.
Sehingga penerbit berani menerbitkan tulisan mereka dan dilirik oleh
konsumen di toko buku. Contoh lain adalah seorang artis yang terkena
kanker rahim di saat hamil, sehingga dia harus menggugurkan
kandungannya untuk penyembuhan kankernya dan kelangsungan hidupnya.
Sang artis menulis perjuangannya melawan kanker, menyampaikan tentang
apa yang dia rasakan, pikirkan, dan alami dalam satu buku. Buku ini
memang buku seorang penulis "amatiran" namun sarat dengan pesan-pesan
untuk para ibu dan penyemangat wanita-wanita yang mempunyai
penderitaan yang sama. Masih banyak lagi contoh lain yang
menggambarkan betapa menulis dan menerbitkan buku bukanlah hak khusus
penulis profesional belaka dalam masyarakat Jepang. Tetapi adalah hak
semua orang yang ingin menyampaikan pengetahuannya, pesannya, dan
keberadaannya kepada orang lain.

Budaya baca dan tulis masyarakat Jepang nampaknya juga tak bisa
dipisahkan dari keberadaan komik, yaitu buku cerita fiksi bergambar.
Bisa dikatakan Jepang adalah masyarakat yang kaya akan komik.
Berbagai jenis komik akan mudah kita dapatkan di toko-toko buku
bahkan convinient store 24 jam. Ada komik humor, komik cerita
imajinasi, atau komik yang erat dengan pendidikan. Bahkan film-film
kartun Jepang hampir seluruhnya (juga yang diputar di Indonesia
sekarang ini) adalah berasal dari karya komik. Ada seorang sosiologi
yang mengatakan, bahwa orang asing bisa belajar tentang representatif
masyarakat Jepang lewat salah satu komik Jepang yang telah
dianimasikan seperti "Keluarga Sazae". Komik filem ini sudah
diproduksi sampai puluhan ribu seri sejak puluhan tahun lalu dan
menggambarkan sebuah keluarga Jepang dua abad keturunan, abad, orang
tua, dan kakek nenek. Tokoh-tokoh kartun ini berkembang dari tokoh
utama (Sazae) kecil sampai dia menikah dan mempunyai anak. Sayang,
pertumbuhan sang tokoh berhenti sampai di situ. Walaupun demikian,
pembuat komik "Keluarga Sazae" pun dimasukkan dalam daftar sastrawan
Jepang yang memberikan kontribusi besar pada pendidikan masyarakat
Jepang. Karena itu, imej komik di Jepang tidaklah melulu buruk,
bahkan dihargai keberadaannya dalam budaya tulis dan baca di
masyarakat Jepang.

Begitulah masyarakat negara matahari terbit ini. Kita dapat melihat
bahwa budaya tulis dan baca mereka yang tinggi didorong oleh besarnya
apresiasi mereka terhadap hasil karya orang lain, hasil proses
kreatif orang lain, juga besarnya keinginan mereka untuk berbagi
informasi dengan orang lain dan mengekspresikan diri. Mudah-mudahan
beberapa tahun kedepan, suatu masyarakat dengan kecenderungan yang
sama akan kita jumpai di tanah air. Semoga.(is01)

Oleh: bu Is Helianti, staf BPPT,alumni tohoku dai juga (S1),
sdg S2 dan S3 di Jaist-Kanazawa.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home