Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)
Eternal Movement

Friday, August 29, 2008

The Kite Runner, Novel Humanis & Mengharukan



“Untukmu keseribu kalinya”. Itulah kata-kata Hassan, si pengejar layang-layang kepada saudara sepersusuannya, Amir ketika akan mengejar layang-layang yang akan dipersembahkannya kepada Amir. Tanpa diduga, pernyataan itu merupakan kalimat terakhir kalinya untuk Amir hingga mereka kemudian berpisah untuk selama-lamanya, akibat kesalahan terbesar Amir terhadap Hassan.


Apa yang sebetulnya terjadi pada mereka berdua? Inilah kisah yang coba diceritakan oleh Khaled Hossaini, seorang penulis berkebangsaan Afghanistan yang juga seorang ahli penyakit dalam.




Alur ceritanya sangat mudah dipahami namun penuh kejutan. Dimulai dengan persaudaraan dan persahabatan antara Hassan, anak Ali pembantunya, yang berasal dari suku Hazara (terbelakang) dan Amir, anak Agha (Baba) yang berasal dari keluarga terpandang. Sepanjang pertemanan mereka, perhatian Baba terhadap Hassan hampir sama bahkan melebihi perhatiannya pada Amir. Hal ini terkadang membuat Amir dengki terhadap Hassan. Namun kedengkian itu terkadang hilang timbul sejalan dengan persahabatan mereka yang sangat erat.
“Amir-Hassan, Sultan-sultan Kabul”, itulah cita-cita mereka semasa kecil. Persahabatan mereka yang sangat erat dipengaruhi oleh kesenangan mereka yang sama yaitu menerbangkan dan mengejar layang-layang. Pada suatu hari yang sangat bersejarah bagi perjalanan hidup mereka, Hassan mengalami pelecehan seksual oleh musuh mereka, Assef, yang memang senang membuat orang susah. Amir yang saat itu berada tersembunyi dan melihat perbuatan Assef dan teman-temannya, tidak dapat berbuat apa-apa karena sangat ketakutan. Sejak itulah timbul perasaan Amir yang merasa sangat bersalah terhadap Hassan. Ketidakmampuan Amir untuk menebus kesalahannya, ditambah perasaan untuk mendapatkan perhatian yang lebih besar dari ayahnya, Amir membuat kesalahan terbesar sehingga Hassan dan keluarganya pergi dari kediaman Amir. Itulah pertemuan terakhir mereka hingga akhirnya Amir di usianya yang sudah dewasa nantinya, berniat menebus kesalahannya. Penebusan dosa Amir terhadap Hassan harus melewati rintangan berliku dan terjal, bahkan harus menghadapi keganasan Taliban di Afghanistan. Bagaimana bentuk penebusan dosa Amir terhadap Hassan? Itulah inti novel ini.
Novel berlatar Afghanistan ini sangat menarik untuk dibaca oleh semua kalangan. Awalnya saya berfikir isi novel ini banyak berkisah tentang peperangan, kekejaman dan perjuangan dan jihad, seperti novel yang pernah ditulis oleh novelis Indonesia Izzatul Jannah yang berjudul Padang Seribu Malaikat (tahun 2000-an). Dari situlah saya mengenal kehidupan rakyat Afghanistan termasuk senjata Automatic Kalashnikov (AK) – 47 yang sangat terkenal itu. Namun, novel Kite Runner ini banyak berkisah tentang persaudaraan, cinta dan kasih sayang dan penebusan dosa. Novel ini sangat menyentuh dan cukup melankolik. Latar novel ini sangat menarik karena terjadi dalam perubahan politik Afghanistan yang sangat cepat berubah, mulai dari pendudukan Soviet sampai ke rejim Taliban berkuasa.
Dalam novel ini banyak ungkapan-ungkapan yang menarik untuk kita renungkan. Mulai dari persaudaraan yang bersifat universal tanpa memandang suku dan kasta, sekte Syiah-Sunni, perilaku-perilaku terpuji, dan kasih sayang. Yang menarik juga dari novel ini adalah kejujuran penulisnya mengungkap kehidupan tokoh-tokoh utamanya yang jauh dari agama (karena pengaruh penjajahan Uni Soviet) padahal kita tahu bahwa Afghanistan adalah negeri Islam yang fanatik. Pilihan kata-kata oleh penulis sangat menggugah dan mengharukan. Butuh waktu kurang dari seminggu untuk menyelesaikan novel ini karena sejak dari awal membacanya membuat saya ingin membacanya terus hingga akhir cerita. Sangat humanis, menggugah, dan mengharukan! Membuat kita merenung kembali inti dari persahabatan, persaudaraan dan cinta yang universal.

© M. Asroruddin,
Agustus 2008

Monday, August 22, 2005

Burut Si Berot

Burut Si Berot adalah cerpen terbaru saya yang berhasil dimuat di harian Pontianak Post, tanggal 10 Juli lalu. Dengan setting kota Pontianak yang kental dengan nuansa Melayunya, kisah ini mencoba memotret sebuah fragmen kehidupan masyarakat kota Pontianak yang masih memiliki pandangan-pandangan yang salah tentang banyak hal. Cerita ini juga berusaha mengangkat rasa kekeluargaan antar sesama meskipun dalam pergaulan sehari-harinya sering berbicara dengan suara keras dan berteriak.
Berhubung logat dan bahasa yang digunakan adalah khas Melayu Pontianak (sama dengan logatnya Siti Nurhaliza), maka berikut ini saya petikkan beberapa arti kata-katanya :

ngape : kenapa
cawat : celana dalam
tadak : tidak
balek agik : balik lagi
ngganggok : mengganggu

Berikut ini juga saya petikkan kisahnya. Jangan lupa beri komentar Anda ya !

BURUT SI BEROT
M. Asroruddin

Kapal Bandong yang membawa kayu-kayu dari hulu baru melintasi sungai Kapuas yang jernih kecoklatan. Berot yang sedang berdiri di atas jamban terapung di sisi sungai di daerah Kampung Bansir, mengalihkan pandangannya dari kapal tersebut yang semakin mengecil, ke arah seberang sungai selebar seratus meter yang terdengar hiruk pikuk. Buruh pabrik di daerah Siantan yang mulai keluar, kendaraan-kendaraan bermotor yang mengaung-ngaungkan gasnya di tengah kemacetan kota, hingga akhirnya matahari yang melintasi kota khatulistiwa ingin bersemayam, belum juga membuat Berot menceburkan tubuhnya ke sungai. Dia menunggu langit kota Pontianak gelap.
“Rot, ngape kau tadak mandi ? Dah gelap bah, maghrib pun udah masok,” tanya Itam, salah seorang temannya, dengan logat Melayunya yang kental.
“Iye, nunggu gelap. Abis tuh baru aku mandi sembahyang.”
Itam tampak bingung. Tak biasanya Berot mandi malam. Teman sepermainannya semasa anak-anak dan remaja itu beberapa hari ini didapatinya sering mandi menjelang maghrib. Biasanya, mereka mandi jam lima sore atau selepas Ashar. Kalau mandi pagi pun setelah terang tanah. Seperti kebiasaan, mereka mandi hanya menggunakan cawat, tak perduli bila ada perempuan di jamban sebelahnya yang sering juga hanya memakai kemban.
Ketika langit mulai gelap dan lampu mulai menghiasi pesisir sungai salah satunya dari Masjid Jami peninggalan Kesultanan Pontianak yang berdiri megah, Berot menyunggingkan senyumannya yang khas. Sudut bibir kanannya tidak sejajar dengan sudut bibir kirinya alias miring. Bukan karena stroke atau riwayat salah jahit akibat kecelakaan, tetapi memang sudah sejak lahir. Itulah mengapa orang-orang memanggilnya Si Berot sejak kecil. Berot alias miring ketika tersenyum. Ketika memasuki usia dimana dia sudah mulai bisa berfikir, dia agak risih mendengarnya. Tapi apa boleh buat, mulai dari keluarga, teman dan orang-orang terdekatnya memanggilnya begitu.
Berot tidak juga menceburkan tubuhnya ke sungai. Tak seperti biasanya, dia hanya mereguk air sungai untuk membasahi tubuhnya dengan gayung plastik. Masih hanya mengenakan cawat. Kalau sudah kebiasaan, memang susah dihilangkan meskipun dia sudah punya istri. Tapi, main mata dengan cewek yang sedang jalan-jalan di tepi sungai atau yang mandi di dekatnya mulai tak tampak lagi karena memang susah memamerkan tubuhnya yang kekar saat gelap.
“Ngape kau mandi malam, Rot ?” tanya Pak Ngah yang baru balik dari surau saat Berot kembali ke rumahnya dengan hanya memakai handuk.
“Nanti bise rematik kayak aku, ni. Lagi pula Maghrib kau nanti habes. Cepat kau mandi sembahyang !” tegas Pak Ngah, tokoh yang dituakan di kampungnya Berot.
Berot mengiyakan sambil menyalami Pak Ngah dengan tangan kekarnya akibat sering digunakan saat menjadi buruh Pelabuhan Pontianak sejak lima tahun yang lalu. Lalu dia meninggalkan Pak Ngah sambil mengucapkan salam.
***
Berot masih berleha-leha di rumahnya karena masih menunggu panggilan pekerjaan sejak dia berhenti dari Pelabuhan dua bulan silam. Sementara istri yang disuntingnya dua tahun lalu saat memasuki usianya yang seperempat abad, berjualan jajanan pasar di Pasar Flamboyan selepas Subuh. Untuk mengisi kekosongan, biasanya Berot menjadi makelar tanah. Pekerjaan jenis itu pun hilang timbul. Untung saja dia belum punya anak, jadi beban keluarganya tidak terlalu berat.
“Berot, ape can kite hari ini?” tanya Itam saat bertandang ke rumah teman baiknya itu.
“Tadak ade ape-ape, Tam. Kepala aku pun pening mikirkan kerje nih !” keluhnya.
“Ngape kau tadak balek agik jadi buroh di pelabohan atau jadi tukang ojek?”
“Tak sanggop, Tam ! Jadi tukang ojek pun tadak ade motornye”
Itam bingung. Tidak sanggup jadi buruh pelabuhan padahal tubuh masih kuat dan umur belum berkepala tiga. Dia berasumsi hanya jadi buruh yang bisa dilakukan oleh Berot. Tak punya keahlian lain. Kebingungan Itam mencair lalu membuka topik pembicaraan lain.
“Kulihat kau udah seminggu tadak turun ke sungai. Kau memang tadak mandi sore ke ape ?” tanya Itam usil.
“Tadak…aku mandi malam pas maghrib”
“Eeh, ngape pula mandi malam-malam ?” tanya Itam penasaran
“Tadak…suke-suke aku lah. Panas kalo mandi lepas Ashar”
Itam menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski alasannya masuk akal, tapi Itam tetap sangsi itu alasan yang sebenarnya. Tak pernah temannya itu berkata serupa.
“Jangan-jangan karena kau dah punye istri, jadi kau tobat main mate dengan anak dare di sungai?”
Berot tersenyum. Dalam hatinya sinis. Meski sudah punya istri, kebiasaannya semasa bujang tetap belum bisa hilang. Siapa yang tidak tergoda melihat tubuh si Berot yang atletis. Plus tampan dan putih dengan wajah khas Melayu campur Sunda. Mereka kemudian keluar rumah mencari warung kopi. Di tempat itu mereka bertemu Kasau, Adnan, dan Kesot, teman satu kampung. Pertanyaan yang sama dilontarkan kepada Berot. Jawabannya pun sama.
“Jangan-jangan kau ade burut kali, makenye kau tadak berani agik pake cawat siang-siang. Keliatan besarnye,” celetuk Adnan diiringi tawa renyah para kaum lelaki.
Yang diejek senyam-senyum. Asap rokok terus mengepul di warung itu, ditambah uap kopi panas dan rumpian mereka tentang sepakbola yang hangat, menambah panas kota khatulistiwa yang memang panas.
***
Ditemani istri tercinta, Berot memberanikan diri memeriksakan ke dokter setelah dipaksa istrinya. Dia memakai celana panjang longgar, sama dengan kebanyakan pasien yang duduk di ruang tunggu. Begitu nama Ihsan Amali bin Haji Ahmad dipanggil perawat, bergegas Berot memasuki ruang dokter ahli bedah ditemani istrinya. Dia berdebar-debar saat diperiksa.
“Pak Ihsan, saya rasa Bapak tahu bahwa yang Bapak derita ini namanya hernia. Atau burut kalau bahasa Melayunya,” ujar dokter Budhi sopan.
“Ye, Pak saye tahu,” jawabnya dengan logat Melayu yang kental.
“Dan, kalau sudah sebesar tinju orang dewasa seperti ini, saya pikir penyakitnya sudah lama. Bapak bilang dua tahun yang lalu ya?” Berot mengangguk.
“Kenapa baru dibawa sekarang, Pak?”
“Saye takut, Pak dokter. Takut dioperasi. Dan takut dibilang orang kampong. Kate mereka kalo kite kena burut, itu aib bagi keluarge.”
Sang dokter geleng-geleng kepala.
“Kenapa mesti takut, Pak ? Itu kan cuma kata orang-orang. Bukan aib atau sesuatu yang harus ditakuti. Dan kalau sudah besar seperti ini, semakin lama semakin parah. Saran saya harus segera dioperasi secepatnya. Nanti malah tambah besar, atau bahkan sakit sekali karena ususnya terjepit.”
Berot dan istrinya mengangguk-angguk. Tapi sebenarnya mereka resah. Darimana uang untuk operasi yang biayanya selangit itu. Uang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Apalagi tak berapa lama akan lahir anak pertama mereka. Mereka bingung.
“Kate orang-orang, kalau dioperasi burut bakal berpengaruh ke keturunan, Pak dokter. Teman saye pun abes operasi tadak bise punye anak lagi, Pak. Makenye saye takut operasi selain tadak punye duit, Pak Dokter.”
Sang dokter kembali menggeleng-gelengkan kepala.
“Jangan percaya kabar-kabar tidak jelas, Pak Ihsan. Tanyalah kepada ahlinya,” tegasnya.
“Gimana ? Bapak dan Ibu setuju bila hernianya kita operasi?”
Berot terdiam sejenak sambil memandangi wajah istrinya.
“Boleh ditunda Pak Dokter keputusannye ? Kame rembogkan dulu di keluarge,” tanya sang istri.
“Boleh-boleh saja. Tapi ingat, Bu. Jangan lama-lama. Kasihan nanti Bapak bisa kesakitan kalau sudah parah.”
Mereka lalu meninggalkan ruang dokter dan RSUD Soedarso dengan langkah gontai. Bingung mencari biaya operasi yang jutaan. ASKES pun tidak punya. Kalau minta bantuan Pak Ngah yang kaya raya, bakal ketahuan orang kampong. Bila mengurus surat keterangan tidak mampu ke RT, mereka tidak bisa menjamin berita tentang penyakitnya bakal tersimpan rapi. Berot resah. Masih malu dengan penyakitnya. Sang istri belum menyumbangkan pikirannya.
***
Istri Berot pusing tujuh keliling. Sang suami kesakitan di bawah perutnya dekat kemaluan sampai berguling-guling. Tengah malam yang sepi tak ada yang bisa menolong Berot hanya bisa mengerang sambil mengucap lafaz Allahu Akbar. Mau membangunkan tetangga tidak enak dan bakal mengganggu tidur mereka. Sang istri meminta persetujuan Berot untuk meminta tolong ke Pak Ngah.
“Jangan, Nah ! Tadak enak bangunkan orang tengah-tengah malam. Pak Ngah kan udah tue !” larang Berot sambil keluar keringat dingin.
“Tadak usah gimane, Bang ! Abang kan kesakitan macam nih. Saye juga pening. Saya dah bilang, kite nguros ke RT minta surat tadak mampu, abang tadak mau. Jadi maonye Abang ape?”
Nada bicara Munah mulai meninggi. Tak peduli bahwa itu suaminya yang harus dihormati. Berot juga bingung dan pusing.
“Saye mau ke rumah Pak Ngah sekarang. Minta tolong die !” tegas Munah.
“Jangan, Nah !” tolak Berot.
Sang istri tetap melaju menuju pintu depan rumahnya menuju rumah Pak Ngah yang berjarak dua ratus meter dari rumahnya.
“Nah ! Munah !” panggil Berot sambil memandang istrinya yang memunggunginya. Dia yang terbaring di atas dipan tak mampu menahan sang istri. Berot pasrah sambil memegangi bawah perutnya. Sang istri berlalu.
***
Munah mengetok-ngetok pintu rumah Pak Ngah yang gelap sambil memanggil-manggil pelan. Lampu rumahnya kemudian terang benderang. Pak Ngah keluar pelan-pelan menuju teras rumahnya.
“Ade ape, Munah ?”
“Maap, Pak Ngah ngganggok tidok Pak Ngah. Bang Berot perutnye kesakitan. Mukenye pucat. Peluhnye banyak. Saye takut terjadi ape-ape!”
Pak Ngah bergegas mengambil pecinya lalu menuju rumah Berot. Jalannya yang lambat berusaha dimaksimalkan.
“Ngape kire-kire si Berot tuh sakit perut” tanya Pak Ngah
“Saye rase karena burutnye terjepit, Pak Ngah !”
Pak Ngah kaget. Dia selama ini tidak pernah tahu menahu tentang Berot yang menderita hernia. Kalau dia tahu tentu saja beliau akan segera menyuruh Berot segera operasi. Dengan biaya dari beliau tentunya. Pengalaman pahit beliau tentang hal yang sama sepuluh tahun yang lalu tak ingin terulang. Dia tahu sakitnya bukan main.
“Kalau gitu, cepat kau balek agik ke rumah. Tolong bangunkan Si Agus, cucu Pak Ngah. Biar die keluarkan mobil mbawa Berot ke Soedarso. Bilang jak dari Pak Ngah. Cepat, Munah !”
Yang disuruh mengangguk dan bergerak cepat. Demi keselamatan sang suami.
***
Dengan mobil Kijang Pak Ngah yang berwarna hijau, Berot, Pak Ngah, dan Munah berangkat ke IGD RS Soedarso tengah malam dengan Agus sebagai sopirnya.
“Rot, ngape lah kau tadak pernah bilang tentang burut kau tu?” tanya Pak Ngah kesal.
“Saye malu, Pak Ngah dibilang aib. Lagipula kame tadak punya duit untuk operasi,” jawab Berot sambil merintih kesakitan.
“Ah, kau tuh ! Peduli benar kau same aib tuh. Liatlah kau sekarang. Gare-gare sikap kau tuh, sekarang kau saket. Rasekan lah sorang!”
Berot tidak berani membantah apalagi dongkol. Pak Ngah yang sudah tua mengorbankan semuanya untuknya. Dia berhutang budi.
“Makaseh lah, Pak Ngah, dah bantu saye. Saya jadi tadak enak same keluarge Pak Ngah. Merepotkan amat !” ucap Berot sambil mencium tangan Pak Ngah.
Pak Ngah tak berkomentar dan melihatnya sinis . Dongkol melihat kelakuan anak teman seperjuangannya dahulu, Haji Ahmad almarhum.
***
Munah menunggui suaminya dengan resah.
“Gimane nih, kalau Abang dioperasi, Pak Ngah ? Saya takut terjadi ape-ape. Pasti biayenye mahal.”
“Tadak usah kau khawatir, Munah. Biar Pak Ngah yang tanggung. Kalaupun harus dioperasi, kau percayakan jak same dokter di sini.”
Sang dokter kemudian berbicara kepada Munah, Pak Ngah, dan Berot. Dia menyatakan Berot harus segera dioperasi karena ususnya terjepit. Bila tidak segera dioperasi, ususnya akan mati dan menambah sakitnya si Berot, bahkan Berot pun bisa mati kesakitan. Semua resah dan berkerut kening mereka.
Pak Ngah mengiyakan. Persiapan operasi segera dilakukan. Munah segera mencium tangan Berot sambil sesegukan. Berot pun mencium tangan Pak Ngah minta didoakan selamat.
***
Setelah dioperasi dan dirawat di bangsal, Berot tampak berseri. Tak ada lagi sakit seperti malam itu. Hanya perih menahan luka bekas operasi. Pak Ngah datang menjenguk didampingi banyak orang. Adnan, Itam, Kasau, dan Kesot tampak bersamanya. Mereka masing-masing menanyakan kabar Berot.
“Ape aku bilang, kau benar kan kena burut ! Makenye kau tadak berani mandi pake cawat siang-siang,” canda Adnan.
“Lagi pula, ngape lah kau malu bilang kau kena burut. Kalo gitu kan kite bise bantu kau ketemu dokter,” sambung Itam.
Yang diwejangi sumringah.
“Maafkan, aku lah budak-budak. Aku memang tak pantas bebuat macam itu.”
Pak Ngah memotong.
“Tapi, ade baeknya pula kau mandi malam-malam, Rot!”
Berot bertanya-tanya.
“Ngape pula, Pak Ngah ?”
“Tak ade lagi anak dare yang kau bise maen mate dengan mereke. Kau kan dah beristri. Sebentar lagi anakmu laher. Cukup lah istri kau yang melihat tubuh kau.”
Semua tertawa dan Munah senyam-senyum.
“Ingat ye, anak-anakku !”
“Janganlah lagi kalian tuh mande pake cawat di sungai. Malu melihatnye. Macam orang-orang di Afrika. Lagipula, biarpun laki-laki, tetap kalian punye aurat. Dari pusat sampe bawah lutut. Lebih baek agik mandi di rumah. Tadak ade yang bise ngintep.”
“Pak Ngah pun kesal. Apelagi anak dare. Dah tahu tubohnye molek, masih gak pake kemban kalo mandi di sungai. Senanglah anak-anak bujang tuh meliatnye !”
Kaum lelaki yang ada di situ merasa tersindir dan saling menyikut-nyikut pelan.
“Kalau Pak Ngah tadak cinte same Mak Ngah kau, mungkin mereka dah jadi bini mude Pak Ngah!”
Semua kembali tertawa gelak. Cukup menghangatkan ruang bangsal yang dingin. Tetapi Berot tak berani ketawa banyak. Perutnya masih sakit.

***





Thursday, April 21, 2005

MIRACLES IN OUR BODY

Our heart beats around 100,000 times every day.

Our blood is on a 60,000-mile journey.

Our eyes can distinguish up to one million colour surfaces and take in more information than the largest telescope known to man.

Our lungs inhale over two million litres of air every day, without even thinking. They are large enough to cover a tennis court.

Our hearing is so sensitive it can distinguish between hundreds of thousands of different sounds.

Our sense of touch is more refined than any device ever created.

Our brain is more complex than the most powerful computer and has over 100 billion nerve cells.

We give birth to 100 billion red cells every day.

When we touch something, we send a message to our brain at 124 mph.

We have over 600 muscles.

We exercise at least 30 muscles when we smile.

We are about 70 percent water.

We make one litre of saliva a day.

Our nose is our personal air-conditioning system: it warms cold air, cools hot air and filters impurities.

In one square inch of our hand we have nine feet of blood vessels, 600 pain sensors, 9000 nerve endings, 36 heat sensors and 75 pressure sensors.


"And in the earth are signs for those who believe, and
(also) in yourselves. Can you then not see?" (Al-Qur'an)

Wednesday, April 20, 2005

21 Advices For You

You may not believe in this but the advice is great!
Read all the way down, you might discover something new!!!

ONE.
Give people more than they expect and do it cheerfully.

TWO.
Marry a man/woman you love to talk to. As you get older, their
conversational skills will be as important as any other.

THREE.
Don't believe all you hear, spend all you have or sleep all you want.

FOUR.
When you say, "I love you," mean it.

FIVE.
When you say, "I'm sorry," look the person in the eye.

SIX.
Be engaged at least six months before you get married.

SEVEN.
Believe in love at first sight.

EIGHT.
Never laugh at anyone's dreams. People who
don't have dreams don't have much.

NINE.
Love deeply and passionately. You might get hurt
but it's the only way to live life completely.

TEN.
In disagreements, fight fairly. Please No name calling.

ELEVEN.
Don't judge people by their relatives.

TWELVE.
Talk slowly but think quickly.

THIRTEEN.
When someone asks you a question you don't want
to answer, smile and ask, "Why do you want to know?"

FOURTEEN.
Remember that great love and great
achievements involve great risk.

FIFTEEN.
Say "bless you" when you hear someone sneeze.

SIXTEEN.
When you lose, don't lose the lesson.

SEVENTEEN.
Remember the three R's:
Respect for self;
Respect for others;
Responsibility for all your actions.

EIGHTEEN.
Don't let a little dispute injure a great friendship.

NINETEEN.
When you realize you've made a mistake,
take immediate steps to correct it.

TWENTY.
Smile when picking up the phone.
The caller will hear it in your voice.

TWENTY-ONE.
Spend some time alone.

Seandainya Rasulullah Ke Rumah Kita

Oleh: Nove (Diforward dari seorang sahabat, Al Muhandis).


Bayangkan apabila Rasulullah SAW dengan seijin Allah tiba-tiba muncul mengetuk pintu rumah kita... Beliau datang dengan tersenyum dan muka bersih di muka pintu rumah kita.

Apa yang akan kita lakukan ? Mestinya kita akan sangat berbahagia, memeluk beliau erat-erat dan lantas mempersilahkan beliau masuk ke ruang tamu kita. Kemudian kita tentunya akan meminta dengan sangat agar Rasulullah SAW sudi menginap beberapa hari di rumah kita.

Beliau tentu tersenyum...

Tapi barangkali kita meminta pula Rasulullah SAW menunggu sebentar di depan pintu karena kita teringat Video CD rated R18+ yang ada di ruang tengah dan kita tergesa-gesa memindahkan dahulu video tersebut ke dalam.

Beliau tentu tetap tersenyum...

Atau barangkali kita teringat akan lukisan wanita setengah telanjang yang kita pajang di ruang tamu kita, sehingga kita terpaksa juga memindahkannya ke belakang secara tergesa-gesa. Barangkali kita akan memindahkan lafal Allah dan Muhammad yang ada di ruang samping dan kita meletakkannya di ruang tamu.

Beliau tentu tersenyum...

Bagaimana bila kemudian Rasulullah SAW bersedia menginap di rumah kita ? Barangkali kita teringat bahwa anak kita lebih hapal lagu-lagu barat daripada menghapal Sholawat kepada Rasulullah SAW. Barangkali kita menjadi malu bahwa anak-anak kita tidak mengetahui sedikitpun sejarah Rasulullah SAW karena kita lupa dan lalai mengajari anak-anak kita.

Beliau tentu tersenyum...

Barangkali kita menjadi malu bahwa anak kita tidak mengetahui satupun nama keluarga Rasulullah dan sahabatnya tetapi hapal di luar kepala mengenai anggota Power Rangers atau Kura-kura Ninja. Barangkali kita terpaksa harus menyulap satu kamar mandi menjadi ruang Shalat. Barangkali kita teringat bahwa perempuan di rumah kita tidak memiliki koleksi pakaian yang pantas untuk berhadapan kepada Rasulullah SAW.

Beliau tentu tersenyum...

Belum lagi koleksi buku-buku kita dan anak-anak kita. Belum lagi koleksi kaset kita dan anak-anak kita. Belum lagi koleksi karaoke kita dan anak-anak kita. Kemana kita harus menyingkirkan semua koleksi tersebut demi menghormati junjungan kita ?
Barangkali kita menjadi malu diketahui junjungan kita bahwa kita tidak pernah ke masjid meskipun azan berbunyi.
Beliau tentu tersenyum...

Barangkali kita menjadi malu karena pada saat maghrib keluarga kita malah sibuk di depan TV. Barangkali kita menjadi malu karena kita menghabiskan hampir seluruh waktu kita untuk mencari kesenangan duniawi. Barangkali kita menjadi malu karena keluarga kita tidak pernah menjalankan sholat sunnah. Barangkali kita menjadi malu karena keluarga kita sangat jarang membaca Al Qur'an. Barangkali kita menjadi malu bahwa kita tidak mengenal tetangga-tetangga kita.

Beliau tentu tersenyum...

Barangkali kita menjadi malu jika Rasulullah SAW menanyakan kepada kita siapa nama tukang sampah yang setiap hari lewat di depan rumah kita. Barangkali kita menjadi malu jika Rasulullah SAW bertanya tentang nama dan alamat tukang penjaga masjid di kampung kita.

Betapa senyum beliau masih ada di situ...

Bayangkan apabila Rasulullah SAW tiba-tiba muncul di depan rumah kita...
Apa yang akan kita lakukan ? Masihkah kita memeluk junjungan kita dan mempersilahkan beliau masuk dan menginap di rumah kita ?
Ataukah akhirnya dengan berat hati, kita akan menolak beliau berkunjung ke rumah karena hal itu akan sangat membuat kita repot dan malu.

Maafkan kami ya Rasulullah...

Masihkah beliau tersenyum ?

Senyum pilu, senyum sedih dan senyum getir...

Oh betapa memalukannya kehidupan kita saat ini di mata Rasulullah...

Friday, March 25, 2005

Ubasute no Hanashi

Author: Abu Aufa

Dahulu kala di Jepang terdapat sebuah kebiasaan yang
dilakukan oleh para petani miskin yang disebut
'Ubasute', yaitu membuang orang tua mereka yang telah
lanjut usia di daerah pegunungan. Hal ini dilakukan
karena mereka terlalu miskin untuk menghidupi orang
tua mereka. Cerita ini adalah cerita kuno dan di masa
ini tentu saja tidak dilakukan hal seperti itu.

Ceritanya:
Pada hari itu, seorang ibu tua dengan digendong oleh
puteranya berangkat menuju gunung untuk 'disisihkan'.
Namun selama perjalanan ia mematahkan ranting-ranting
dan menjatuhkannya. Ketika ditanya oleh puteranya, ia
menjawab, "Agar kau tidak tersesat pada waktu kembali
ke desa." Mendengar hal itu, puteranya terharu dan
menangis lalu menggendong ibunya dan kembali ke rumah
mereka.


Ikhwah fillah rahimakumullah,
Hikmah apa yang dapat kita ambil dari kisah diatas?
Tentu banyak sekali, melimpah bagaikan air yang
mengucur, mengalir deras ke sebuah telaga hati. Hikmah
betapa kasih sayang orangtua kita tak akan luntur
sepanjang zaman, walaupun mungkin kita sendiri telah
menjadi orangtua dari anak-anak kita.

Dalam Islam, perintah berbakti kepada orangtua ini
telah nyata-nyata termaktub di QS: Al Isra' 23-24,
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik
kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai
berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan
sekali-kali mengatakan 'ah' dan janganlah kamu
membentak mereka, serta ucapkanlah kepada mereka
ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka dengan penuh kasih sayang, serta ucapkanlah,
"Ya Allah, kasihanilah mereka sebagaimana mereka
keduanya telah mendidik aku sewaktu kecil."

Allah SWT juga telah memerintahkan kita untuk selalu
bersyukur selain kepada-Nya, juga kepada orangtua kita
[QS: Lukman 14]. Bahkan Rasulullah SAW dalam sebuah
haditsnya yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Amrin bin Ash, pernah mengatakan nilai
pahala berjihad pun tak kalah dengan berbakti kepada
orangtua.

Kalau kita durhaka kepada orangtua, maka dosanya
adalah sebuah dosa besar, demikian pula pesan
Rasulullah SAW. Bahkan Allah sangat melaknat
orang-orang seperti itu, dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas, "Allah
sangat melaknat orang yang durhaka kepada orangtua.
Allah sangat melaknat orang yang mencela bapaknya,
dan Allah sangat melaknat orang yang menyakiti hati
ibunya."


Serem ya, takut ya! Iya! Padahal berbuat baik kepada
orangtua bukanlah sesuatu yang sulit lho. Mungkin di
saat kita kecil, kalau nakal dicubit atau dipukul,
apakah itu karena mereka benci kepada kita? Lha,
salahnya sendiri, nakal sih! Coba kalau gak nakal, gak
bakal dicubit kan? Paling juga cubit gemes (sakit juga
sih). Saat itu mungkin perasaan kita mengatakan, "Apa
iya sih saya ini anak angkat, kok mama benci banget
sampe' nge-nyubit?" atau pula, "Apa sebaiknya nyari
mama yang lain aja ya, yang baik, gak pernah nyubit
biar pun nakal, minta apa aja pasti dibeliin."
Yee...emang enak nyari mama, konsultasi dulu dong ama
ayah! Haknya ayah tuh, bukan hak kamu lagi. (nikoniko
suru**)

Kalau dalam perjalanan hidup ini kaya'nya susah
banget, rezeki seret, rumah masih ngontrak, kerjaan
gak ada, anak bawel melulu, bla...bla...bla... coba
ingat-ingat, apakah itu karena kita pernah durhaka
kepada orangtua? Karena siksa bagi orang yang durhaka
kepada orangtua, siksaannya akan diberikan dengan
segera, ketika masih berada di dunia ini [HR. Hakim
dan Abu Bakar]. Itu pula sebagai tanda dari sebuah
dosa besar yang pernah kita lakukan, yaitu laknat dari
Allah SWT baik ketika masih hidup di dunia maupun
setelah di akhirat nanti.

Jika diberikan 2 pilihan, yang mana harus diutamakan,
pilih ibu atau bapak? Ya, harus pilih dua-duanya dong!
Ups...tentunya kita berharap dua-duanya, namun
Rasulullah SAW menegaskan dalam HR Imam Bukhari dan
Muslim, bahwa berbakti kepada ibu lebih
diprioritaskan, bahkan dalam riwayat tersebut, beliau
menyebutnya sampai 3 kali. Kok gitu ya? Iya, karena
seorang bapak kan gak mengandung, dll, 9 bulan lho.

Coba deh direnungkan, sedemikian luas samudera
kesabaran, kecintaan dari sejak mengandung,
melahirkan, menyusui, mengasuh, berjaga semalaman
ketika si anak sakit, mendidik, wah...pokoke curahan
seorang ibu itu tak putus-putusnya. Emang enak jalan
sambil perut maju ke depan gitu, gak bisa ditinggal
lagi. Kalo kaum laki-laki gak percaya, coba deh bundel
beban 3 kiloan, lalu jalan-jalan, 1 jam-an aja, betah
gak ya? Wah...ibu-ibu senyum-senyum deh. Iya, semoga
Allah SWT memberikan pahala yang tak terhingga kepada
ummahat ya.

Karena itu, sebelum terlambat dan tertutupnya pintu
taubat, serta menghindari dari kemurkaan Allah SWT,
sebagai seorang anak sudah sepatutnya kita berbakti
kepada kedua orangtua dengan penuh hormat, adab dan
akhlak yang baik. Kita bisa sekolah, disebut mahasiswa
(keren kan?), jadi sarjana, bahkan bisa ke Jepang (apa
karena Monbusho? :-)) juga karena ridho mereka,
bukankah ridho orangtua juga ridho Allah SWT.

Mudah-mudahan kita gak jadi sombong, mentang-mentang
lebih kaya, lebih terhormat, calon doktor (atau udah
doktor?), lantas jadi durhaka hanya karena orangtua
kurang pendidikan dan hidup sederhana di kampung,
insya Allah gak ya. Karena bagaimana pun, kepintaran,
kesuksesan dan kemewahan yang kita peroleh saat ini
adalah karena jerih payah, penderitaan, dan terutama
adalah keikhlasan serta do'a dari orangtua.


Mudah-mudahan bermanfaat ya akhi wa ukhti, sambil kita
terus berdoa, "Rabbighfirlii waliwaalidayya
warhamhumma kamaa rabbayaanii shaghiiran", Ya Allah,
ampunilah dosaku, dosa ayah dan ibuku serta kasihilah
mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku
masih kecil." Aamiin allahumma aamiin

Wallahu a'lam bi-showab,


*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah,

Abu Aufa


Notes:
In Japanese:
Ubasute no Hanashi* = kisah Ubasute
Nikoniko suru** = dengan tersenyum

CERITA TENTANG KATAK KECIL

Pada suatu hari ada segerombol katak-katak kecil, ...yang menggelar lomba lari. Tujuannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi.

Penonton berkumpul bersama mengelilingi menara untuk menyaksikan perlombaan dan memberi semangat kepada para peserta...

Perlombaan dimulai...

Secara jujur:

Tak satupun penonton benar2 percaya bahwa katak2 kecil akan bisa mencapai puncak menara.

Terdengar suara:

"Oh, jalannya terlalu sulitttt!!

Mereka TIDAK AKAN PERNAH sampai ke puncak."

atau:

"Tidak ada kesempatan untuk berhasil...Menaranya terlalu tinggi...!!

Katak2 kecil mulai berjatuhan. Satu persatu...

... Kecuali mereka yang tetap semangat menaiki menara perlahan- lahan semakin tinggi...dan semakin tinggi..

Penonton terus bersorak

"Terlalu sulit!!! Tak seorangpun akan berhasil!"

Lebih banyak lagi katak kecil lelah dan menyerah...

...Tapi ada SATU yang melanjutkan hingga semakin tinggi dan tinggi...

Dia tak akan menyerah!

Akhirnya yang lain telah menyerah untuk menaiki menara. Kecuali satu katak kecil yang telah berusaha keras menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai puncak!

SEMUA katak kecil yang lain ingin tahu bagaimana katak ini bisa melakukannya?

Seorang peserta bertanya bagaimana cara katak yang berhasil menemukan kekuatan untuk mencapai tujuan?

Ternyata...

Katak yang menjadi pemenang itu TULI!!!!

Kata bijak dari cerita ini adalah:

Jangan pernah mendengar orang lain yang mempunyai kecenderungan negatif ataupun pesimis...

…karena mereka mengambil sebagian besar mimpimu dan menjauhkannya darimu.

Selalu pikirkan kata2 bertuah yang ada.

Karena segala sesuatu yang kau dengar dan kau baca bisa mempengaruhi perilakumu!

Karena itu:

Tetaplah selalu....

POSITIVE!

Dan yang terpenting:

Berlakulah TULI jika orang berkata kepadamu bahwa KAMU tidak bisa menggapai cita-citamu!

Selalu berpikirlah: I can do this!